Mudik biasa dimaknai sebagai proses kembalinya masyarakat urban, perantau ke kampung halaman. Mudik sinonim dengan pulang ke udik yang bisa bermakna asal daerah. Dan tradisi mudik menjelang perayaan Idul Fitri ini sudah menjadi kultur atau budaya sehingga saya memahaminya sebagai mudik kultural. Mudik sebagai fenomena kultural unik adanya dan mungkin hanya satu-satunya di penjuru dunia. Fenomena mudik telah menyita banyak perhatian dari seluruh kalangan; pemerintah, ekonom, sosiolog, hingga aparat kepolisian sehingga harus mengawal arus mudik dan arus balik dari komunitas pemudik pengguna sepeda motor.
Saya yakini bahwa motivasi mudik bukan semata-mata karena momentum perayaan Idul Fitri. Hari Raya Idul Fitri saya katakan hanya sebagai media yang memungkinkan proses mudik terjadi. Karena pulang ke kampung halaman di luar Idul Fitri, meski banyak ditempuh oleh komunitas perantau, kurang lazim disebut mudik, bukan? Ya. Inilah letak keunikan kultur atau budaya mudik.
Motivasi lain yang paling mengetahui adalah komunitas pemudik itu sendiri. Tapi, itu bisa diraba tentunya. Motivasi mudik bisa tergambar dalam upaya kembali ke tanah kelahiran setelah sekian lama ada di perantauan. Sub motivasinya; merayakan Idul Fitri di kampung halaman, menjalin tali silaturrahmi yang selama ini terputus karena kesibukan pekerjaan
Ada ungkapan hilir-mudik. Ada industri hilir, tapi tidak ada industri mudik. Kalupun ada, mungkin industri hulu, yang menurut saya sinonim dengan industri udik. Hilir-Mudik menggambarkan sebuah kesinambungan aktifitas yang tidak terputus, kontinyu. Ada saat berada di hilir, ada saat berada di udik. Jika hilir diasumsikan sebagai pusat aktifitas, maka udik bisa juga diasumsikan sebagai tempat peristirahatan dari seluruh aktifitas. Ya, dan ini menemukan momentumnya pada saat Idul Fitri.
Saat dan selama mudik, kembali ke udik, adalah saat di mana aktifitas rutin pekerjaan diistirahatkan barang sejenak, untuk kemudian, pada saatnya, harus balik lagi lagi ke hilir pusat aktifitas dan pekerjaan. Dari sini kita mengenal; ada arus mudik dan arus balik. Menggunakan kata arus yang identik dengan aliran sungai (dari hulu ke hilir) lagi-lagi menandakan adanya aktifitas yang kontinyu. Bagi saya, penggunaan kata arus dalam konteks arus mudik dan arus balik tidak lain menggambarkan deras-nya prosesi mudik dan prosesi balik.
Bagaimana tidak, arus mudik hampir pasti diwarnai dengan berjubelnya penumpang Kereta Api, Pesawat Terbang, Kapal Laut, Bus hingga kemacetan lalau lintas di jalan raya karena berjejalnya mobil pribadi pemudik atau mobil yang disewa sebatas untuk mudik. Demikian juga halnya dengan arus balik yang hampir dapat dipastikan diikuti oleh pertambahan jumlah arus balik; yaitu calon perantau-perantau baru yang idealnya ingin mencari pekerjaan di kota-kota besar, seperti Bandung, Surabaya, Jakarta dan kota-kota lain di sekitarnya.
Rangkaian seperti itulah yang telah membuat Mudik Idul Fitri sebagai sebuah kultur yang fenomenal dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dan kultur mudik, arus mudik dan arus balik, akan tetap menjadi fenomena di masa yang akan datang. Setidaknya, selagi Idul Fitri dirayakan oleh bangsa kita. Mengapa oleh bangsa kita? Ya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Idul Fitri tidak lagi dirayakan eksklusif oleh Umat Islam Indonesia. Non-muslim pun ikut “merayakan” Idul Fitri, setidaknya ada dalam wilayah merayakan secara kultural melalui fenomena mudik, arus mudik dan arus balik.
Pada ketiganya –mudik, arus mudik dan arus balik, saya yakini tidak sedikit selain umat Islam yang ada di dalamnya. Kalaupun tidak demikian, mereka –selain umat Islam –ada dalam kerangka “merayakan” Cuti atau Liburan Idul Fitri: sebuah sisi lain dari Idul Fitri sebagai bagian dari Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar